KUTEMUKAN WARNA Panas matahari siang ini kurasakan lebih garang dari biasanya. Dan berkali pula aku mengumpat keteledoranku sendiri. Andaikata tidak lupa membawa kaca mata hitamku, ah...pasti aku tidak merasa terlalu silau seperti ini. Apalagi pada jam pulang kerja seperti sekarang banyak penyeberang jalan yang seenaknya sendiri berlenggang di jalan raya. Tadi di Tahrier aku terpaksa mengerem mendadak ketika seorang nenek buta menyeberang tertatih-tatih dituntun oleh seorang anak kecil. Kembali kutambah kecepatan LANCER biruku. Sepertinya bukan hal yang pantas dilakukan oleh seorang mahasiswi sepertiku, apalagi di daerah ramai seperti Ramses. Seandainya bisa bergerak, pasti patung Ramses di dekat stasiun kereta listrik bawah tanah telah menggeleng-gelengkan kepalanya melihat caraku mengemudi. Ah...cuek saja, yang penting aku bisa cepat tiba di rumah. Dari kejauhan kulihat seorang laki-laki berkulit hitam tampak ragu untuk menyeberang. Barangkali dia orang baru yang belum terbiasa dengan lalu lintas Kairo. Pada bulan-bulan terakhir ini memang banyak orang asing datang untuk kuliah di negri Seribu Menara ini. Pemuda berbadan gelap itu kembali menyeberang. Setelah sampai di tengah jalan raya, ia tampak gugup melihat kecepatan mobilku, lalu mundur lagi. Aku panik...dasar!! Kubanting stir mobil ke kiri...sebuah Taksi ternyata juga sedang melaju cepat. Lalu.... "Braaaaaaaaaaakkkk...!!" Aku tak tahu lagi apa yang terjadi. ********* "Aduh...!”Rintihku pelan. Aku tak tahu dimana aku berada. Yang kurasakan hanyalah gelap...bau obat...dan sekujur tubuhku terasa sakit. "Dokter...dia mulai sadar," kudengar suara baba dengan nada antara senang dan sedih yang tertahan. "Baba...dimana aku? Gelap, gelap, Baba...!" Aku panik. Dengan susah payah kugerakkan tanganku yang terasa kaku, lalu kucoba melepas perban yang menutup mataku. Akan tetapi dokter melarang dan membujuk baba untuk menenangkanku. "Sayang...Nada mau sembuh, kan? Cobalah tenang! Baba masih akan berbicara dengan dokter Gamal." Baba membujukku seolah aku masih balita. Padahal usiaku sudah mendekati dua puluh tahun. Tentu saja hal itu tidak disadarinya. Aku mencoba untuk tenang, namun dalam ketenangan yang dipaksakan itu kucoba menyusun serpihan-serpihan ingatan satu persatu hingga tersusunlah serangkai memori. Sementara baba dan dokter Gamal telah berada di luar ruangan . Aku merasa ditinggalkan seorang diri, tenggelam dalam deburan ribuan pertayaan dan terseret berjuta tanya. Tak lama kemudian kudengar baba dan dokter Gamal memasuki ruangan. Kurasakan tangan baba menggenggam erat tanganku lalu keningku dikecupnya. Dari desahan napasnya yang berat dan panjang, seakan ada sesuatu yang ingin disampaikannya. Suatu hal yang amat berat tentunya. "Nada...," panggilnya lembut. Kehadirannya sejak sepuluh tahun terakhir ini telah berperan ganda, sebagai baba dan juga...mama. "Baba sayang Nada, apapun yang terjadi, apapun yang Nada lakukan, bagaimanapun keadaan Nada, dan apapun yang menjadi akibat perbuatan Nada. Baba tetap sayang...", kudengar suara baba semakin berat. Ada tangis yang tertahan di sana. Setetes air mata hangat jatuh ke tanganku tanpa baba sadari. Aku semakin tenggelam dalam lautan tanya, dalam kegelapan yang entah kapan akan berakhir. "Berterus teranglah, Tuan Omar. Ataukah saya yang harus menyampaikannya?" Desak dokter. Barangkali baba mengangguk, karena sebentar kemudian dokter melanjutkan ucapannya. "Sayang sekali, Nona Nada. Kecelakaan yang Nona alami, terutama benturan di kepala serta adanya serpihan kaca yang mengenai mata telah menyebabkan Anda kehilangan kemampuan untuk melihat. Secara medis...", dokter masih melanjutkan ucapannya namun aku tak lagi menyimak. Bagiku kata-kata bermajas dan pilihan katanya yang sangat hati-hati tak ubahnya seperti antologi puisi para idiot. Hambar...dan menyakitkan. Mengapa tidak langsung dia katakan aku gadis buta? Cacat? Hina? "Babaaaa...!!!" Jeritku. Tangisku meledak. "Ini untuk sementara saja, kan? Iya, kan, Dokter?" Emosiku bergemuruh. Memaksa kenyataan untuk memutar kata dan membalik berita. "Sayang sekali...tidak", jawab dokter masih dengan kata 'sayang sekali'nya yang membuat aku muak. Aku benci dia...aku benci sopir taksi itu...aku benci laki-laki negro si penyeberang jalan...aku benciii...!! "Baba...kenapa ini harus terjadi padaku? Kenapa, Baba?" "Nada sayang, sebenarnya Nada masih harus bersyukur. Bagian tubuh Nada yang lain masih utuh, hanya luka-luka ringan saja. Sedangkan sopir taksi yang tertabrak mobilmu sekarang lumpuh. Dan karena terkena infeksi, maka kakinya harus diamputasi. Nada harus bersyukur...", dokter itu menjelaskan namun kata-katanya bagiku adalah ejekan. Aku tidak tahan lagi. "Sekarang juga Anda keluar...! Saya akan mencari dokter lain yang bisa menyembuhkan saya. Awas...setelah saya sembuh akan saya cari si negro keparat itu. Aku benci negro...benci...benciii...!" Aku berteriak sekuat tenaga. Baba mencoba menenangkanku dan meminta maaf pada dokter atas perkataanku. Kemudian aku merasakan pegangan tangan lain selain baba, menusukkan jarum suntik. Aku kembali tak sadarkan diri. ********* Barangkali sudah sebulan aku mengurung diri di rumah. Namun sebulan itu bagaikan setahun bagiku. Aku tidak bisa lagi membedakan malam dan siang selain dari merasakan perbedaan panas dan dinginnya cuaca. Aku merasa bagaikan orang primitif yang tidak mengenal peradaban. Aku tidak mau lagi kuliah di kampus yang kata orang menjadi favorit, Cairo University. Tidak ada lagi chating di internet, tidak ada lagi VCD, televisi, video game, tidak ada lagi ice skating di Genena Mall, ah...benarkah semua itu telah berakhir? Benarkah segala kenangan dan kesenangan masa remajaku berbaur lalu menguap bersama air di lautan? Atau pecah menjadi titik-titik debu yang hanya mengusik segarnya pagi? Sayup-sayup kudengar "El Hubb el Haqiqi" lantunan Mohammed Fouad. Namun tak dapat lagi kusaksikan akting polos bocah-bocah cilik dalam klipnya. Dalam hatiku bertanya, adakah cinta sejati itu? Aku jadi teringat mama yang meninggalkan kami untuk selama-lamanya sepuluh tahun yang lalu. Sejak saat itu baba belum punya rencana menikah lagi. Baba sayang aku, tentu kusadari itu. Segala kebutuhanku dipenuhinya walau untuk itu beliau harus bekerja ekstra keras dan aku selalu ditinggal di rumah bersama Omaima, bibi pengasuhku. Namun Omaima tentu tidak berdaya ketika sang waktu mulai menggoda dan lingkungan pergaulan mengambil alih tugas dia sebagai pengasuh. Jadi cukuplah Omaima menyediakan makan, berbelanja, membereskan rumah, dan semacamnya. Sebab aku sendiri tak mau lagi mendengar dan menyimak kisah-kisah para rasul dan shahabi yang dulu sering Omaima ceritakan padaku sebelum tidur. Untuk usiaku sekarang, aku merasa konyol jika masih mendengarkan cerita-cerita itu. Aku lebih memilih chating sampai pagi bersama Mike di Canada, Joe di New Jersey, maupun Vincent di Paris. Pagi ini aku merasa suntuk sekali. Bagaimana tidak? Di duniaku yang baru dan primitif ini segalanya membosankan. Hanya suara, suara, dan suara yang bisa kukenali. Omaima selalu setia membimbing dan menuntunku kemanapun aku mau. Sebab makhluk-makhluk yang dulu berstatus sebagai kawanku kini tak satu pun yang peduli padaku dan telah berubah menjadi monster-monster jelek yang memiliki kebiasaan basa-basi lewat telpon saja. Padahal mereka pulalah yang paling banyak menggerogoti kantongku. "Omaima...!" Panggilku. Tak lama kemudian kudengar langkah-langkah berat yang menopang tubuh gemuknya. "Ada perlu apa, Nada?" Tanyanya. "Aku suntuk. Aku ingin menghirup udara segar di luar. Temani aku, yuk!" Ajakku. Konyol sekali. Padahal dulu kalau ingin pergi aku tinggal menstarter LANCER-ku dan aku pun bisa meluncur kamanapun aku mau. "Nah, begitu dong! Sekali-kali Nada memang perlu keluar. Banyak hal yang dapat Nada lihat...ups...ma'alisy*, maksud saya...." "Sudahlah, Omaima! Aku mengerti." Untunglah Omaima yang mengucapkan kalimat itu. Aku sayang dia. Seandainya orang lain yang mengatakannya, entahlah...! Kutarik napas panjang menghalau gulana di relung-relung hatiku yang retak menunggu kehancuran. Aku berkhayal, andai aku sekarang berada di dunia Windows komputer yang betapa mudahnya meng-click saja bila aku telah bosan dengan sebuah permainan. Tapi aku hidup dalam dunia nyata. "Nada, berdoa sajalah! Semoga babamu dapat berhasil mencari dokter dan rumah sakit yang bagus untuk memperbaiki matamu." Aku hanya tersenyum mendengar kata-kata polosnya. Berdoa? Sepertinya aktivitas itu kulakukan sekali saja dalam setahun, yaitu pada hari raya idul fitri. Salat pun...ah! Untunglah rumah kami hanya berada di lantai satu, tepat di atas lantai dasar. Sehingga aku tidak terlalu merasa kesulitan menuruni tangga satu per satu. Omaima berkali memperingatkan jika kakiku melangkah terburu-buru. Rupanya Omaima wanita yang cukup supel. Tidak sedikit orang yang menyapanya. Termasuk.... "Assalamu'alaik, Shahnaz!" Sapa Omaima. Kudengar suara ketukan teratur di tangga, lalu hilang seiring dengan lenyapnya suara langkah kaki. Barangkali orang bertongkat itu berhenti. Kini apalagi yang dapat kulakukan selain mengira-ngira? Hanya prasangka yang kupunya, menggantikan salah satu inderaku yang hilang. "Wa'alaik salam, Ablah** Omaima! Mau kemana?" Sapa seorang gadis yang dipanggil "Shahnaz" itu. "Mau jalan-jalan sebentar", jawab Omaima. "Anda bersama siapa?” Tanyanya. “Oh, perkenalkan. Ini putri Tuan Omar Zekry, namanya Nada.” Aku sebenarnya minder dan segan dengan perkenalan ini. Tapi dalam keterpaksaan ini kuulurkan juga tanganku. Tak jua kum­endapat sambutan, kecuali setelah Omaima mempersatukan tangan kami. Aku jadi berprasangka, benarkah dia juga…? “Maaf..apakah Anda juga tuna netra seperti saya?” Tanya gadis itu hati-hati. “Ya…,” jawabku seolah tanpa beban. Aku merasa memiliki kawan sependeritaan. Untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu aku merasa senang. “Permisi…saya harus ke atas dulu. Insya Allah kita bertemu lagi. Aku di lantai empat apartemen nomor dua belas. Mampir, ya …!” Ajaknya ramah. “Kau juga mampirlah kapan saja. Sudah kenal Omaima, kan?” Tanyaku. “Ya…insya Allah…assalamu’alaikum…!” “Wa’alaikum salam…!” Aku dan Omaima pun meneruskan langkah yang kali ini kurasakan lebih ringan. “Kasihan Shahnaz! Dia cacat sejak kecil, juga yatim piatu. Syukurlah dia punya paman yang baik hati, merawatnya sejak kecil.” “Oh, ya?” Kata itu terluncur begitu saja mengomentari cerita Omaima tentang kawan baruku. Kata demi kata yang Omaima ceritakan tentang Shahnaz terasa lebih menyentuh kalbuku dari pada novel-novel picisan yang selama ini kubaca. Bersama Omaima kutelusuri jalan Ahmad Qasim Gouda di kawasan Abbas Aqad. Kali ini kuberjalan dengan sisi hatiku yang lain, yang sebongkah kecilnya seakan telah kutemukan kembali. Aku harus banyak belajar. ********* Pertemuan singkatku bersama Shahnaz di tangga itu berlanjut dengan jalinan keakraban di antara kami. Dia banyak mengajarkanku tentang banyak hal yang berhubungan dengan ‘dunia’ kami. Dengan matanya yang buta itu Shahnaz masih bisa berprestasi tinggi di kuliahnya. Dia juga terbiasa pergi sendiri tanpa kawan. Dia terbiasa dan bisa menggunakan inderanya yang lain dengan optimal. Dia bisa begini, begitu, dan masih banyak hal yang makin membuatku kagum padanya. “Kita memang buta, Nada”, katanya pada suatu hari. “Tapi ingat! Banyak hal yang tidak dapat dilihat oleh mata…itulah hakikat hidup.” Aku hanya mengangguk walaupun tak mengerti maksud ucapannya. Terkadang untaian kata yang dirangkainya lebih sulit dari rumus-rumus kimia, namun lebih indah dari sajak-sajak Kahlil Gibran. Shahnaz lebih banyak mengajariku bagaimana mempergunakan indera yang lain, agar aku bisa lebih peka terhadap keadaan sekitar. Hal itu membuatku bertahan, setidaknya untuk sementara waktu. Ya…sementara baba sedang mencari dokter dan rumah sakit yang bagus untuk mengoperasi mataku. Ketika kuceritakan hal itu pada Shahnaz…. “Yach…berdoa sajalah! Semoga babamu berhasil, dan kau dapat melihat lagi”, harapnya. “Do’a? Shahnaz…aku tidak pernah lagi berdoa selain mengucap kata semoga dan semoga.” “Bukankah salat itu juga doa, Nada?” “Itulah, Shahnaz. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku salat”, ungkapku tanpa ekspresi. Kudengar Shahnaz menarik napas panjang sambil beristighfar. Seiring dengan hembusan napasnya tiba-tiba kurasakan kisi-kisi hatiku membiaskan kidung-kidung penyesalan. “Wallahu a’lam…barangkali Allah mengambil penglihatanmu untuk memberimu pelajaran. Kau gunakan untuk apa sajakah matamu selama ini?” Seharusnya keangkuhanku membisikkan kemarahan pada otak yang akhirnya memaksa lisan untuk mengumpat. Tapi untunglah hatiku dapat meredakannya dan dapat menerima kata-kata Shahnaz yang memang berisi kebenaran. “Shahnaz…aku ingin memperbaiki diri. Aku ingin memulai lagi mempergunakan mataku untuk hal-hal yang baik. Aku janji…setelah aku dapat melihat lagi akan kumulai semuanya. Aku akan….” “Ingatlah, Nada!” Dia memperingatkanku. “Apakah kau yakin operasi ini akan berhasil? Kau harus siap, Nada! Siap gagal, hingga jika benar-benar terjadi mentalmu tidak patah. Siap berhasil, hingga kau mempunyai langkah-langkah pasti untuk memenuhi janjimu. Jangan membual, apalagi pada Tuhan. Mengapa tidak kau mulai saja niat untuk berbuat baikmu sekarang juga? Kita tidak pernah tahu kapan ajal tiba…” Aku hanya terdiam. Dalam kebisuanku kubenarkan kata-katanya. Sayup-sayup kudengar kepakan sayap burung-burung kecil dan cericitnya di dahan pohon luar jendela. Aku rindu menyaksikannya…aku rindu wajah-wajah orang yang menyayangiku…aku rindu segalanya. “Shahnaz…dalam mimpi-mimpiku aku dapat melihat lagi. Langit yang biru, pohon-pohon yang hijau…” “Simpanlah segala kenanganmu tentang biru…tentang hijau…kau harus bersyukur. Sedang aku tak pernah tahu semua itu. Aku tak pernah tahu wajah orang-orang di sekitarku dan wajahku sendiri. Aku tidak pernah tahu warna-warni dunia, bahkan dalam mimpi sekalipun.” Lagi-lagi kata-katanya membuatku merenung. Shahnaz, sobatku. Bersamamu aku merasa kembali menjadi manusia seutuhnya. ********* Kusambut pagi dengan senyuman yang lebih manis, menaklukkan senyum mentari. Tadi setelah salat Subuh aku berhasil menghafal satu juz Quran. Omaima yang setiap saat setelah salat membacakanku ayat-ayat tersebut merasa sangat bahagia. Satu bulan ini bagiku lebih berarti dari pada belasan tahun umurku yang lalu. Tepatnya setelah dialog-dialog bersama Shahnaz sejak sebulan yang lalu, kegelapanku yang sekarang terasa lebih terang di hati. Aku jadi menyayangkan baba yang masih saja menjadi pemuja akal dan ilmu pengetahuan. Baginya agama hanyalah penghalang. Walaupun berstatus sebagai muslim, namun tingkah lakunya sama sekali tidak mencerminkan seorang muslim. Salat baginya ialah rutinitas yang membatasi ruang gerak manusia. Untuk itu selalu dikembalikannya salat ke arah fungsinya semula sebagai istirahat rohani. Jadi sambil melakukan pekerjaan apapun dia bisa salat. Dalam aktivitas apapun baba merasa sudah salat walaupun tanpa gerakan-gerakan ritual tersebut. Baginya mengingat Allah saja sudah cukup. Oh baba…tiba-tiba aku tidak siap menerima perbedaan prinsip seperti ini. Semoga Allah membuka hatimu…! Aku dibantu Omaima bersiap-siap. Hari ini aku akan ke rumah sakit di Roxy untuk operasi mata. Ya Allah…dalam bimbang dan pasrahku aku bersyukur menjadi milik-Mu dan masih bisa menyebut asma agung-Mu. ********* Setelah tiba di rumah sakit, tim medis telah siap siaga dengan segala peralatannya. Sementara hati, rasa, dan asaku pun berbaur menjadi satu, merangkai sebuah bingkai harapan walaupun samar, terselubung oleh kecemasan akan sebuah kegagalan, dan goyah oleh ketergesaan menyongsong sebuah keajaiban. “Dzikir, Nada…dzikir…!” Omaima membisikkan sesuatu di telingaku. “Omaima, ajak baba salat! Ajak baba berdoa…!” Pintaku setelah berbaring di atas ‘meja’ operasi. Kuingat waktu itu selembar sapu tangan basah berbau obat didekatkan ke hidungku. Sebentar kemudian Al Fatihah yang kurangkai dalam hati terputus di tengah-tengah. Aku terbius. ********* Lamat-lamat kudengar suara adzan Subuh bersahut-sahutan. Hari ini aku berada di rumah, tiga hari setelah operasi. Hari ini adalah penentuan hasil operasi, karena hari inilah perban di mataku sudah boleh dilepas, oleh dokter ahli tentunya. Dalam tahajjud panjangku tadi aku berdoa, semoga aku dapat mempergunakan segala nikmat dengan baik. Aku ingin menjadi manusia baru, yang lebih dekat dengan-Nya, dan dapat tentram dalam lindungan dan kasih-Nya. Insya Allah aku siap. Aku harus…! Kudengar baba terisak. Bahagia…atau entah apa. Sejak tiga hari yang lalu aku sering mendengar baba menangis dalam salatnya. Ya…salat yang telah sangat lama ditinggalkannya. “Baba…ayo!” Kuajak baba salat berjemaah, Omaima juga turut. Sebetulnya baba bukanlah orang yang buta akan agama Islam. Tetapi justru karena kepandaiannya yang tidak diiringi pondasi iman yang kuat itulah dia sering meremehkan syari’at agama. Setelah salat.... “Nada...baba seakan menemukan ketenangan baru, Sayang. Mulanya baba hanya akan melakukannya karena permintaanmu. Namun setelah itu...baba rindu suasana seperti ini.” “Itulah fitrah, Baba! Itu rahasia Allah...”, jawabku. Kemudian kami pun tenggelam dalam kebisuan yang bermakna. ********* “Tuan Omar, pak Dokter datang...!!” Seru Omaima gembira. Aku yang sejak tadi mengais detik-detik dalam penantian, ingin segera melonjak gembira. Ketergesaan telah mengikis kesabaranku. Aku ingin melihat lagi...menatap dunia...menemukan warna. Omaima membimbingku ke ruang tamu dimana baba dan pak dokter sedang bercakap-cakap. “Bonjour, Nada! Comment allez-vouz?” Sapa dokter itu dalam bahsa Perancis, menanyakan kabarku. “Je vais très bien, merci!” Jawabku, mengabarkannya bahwa aku baik-baik saja. Di Mesir yang bekas jajahan Napoleon ini Bahasa Perancis memang kadang masih dipergunakan. “Alhamdulillah…kalau begitu bersiap-siaplah! Duduklah dengan santai…!” Kata dokter itu. Aku pun menuruti kata-katanya. Lalu pelan-pelan dia melepas perban kecil yang menutupi mataku sejak operasi. Perlahan-lahan dan hati-hati…perban pun terlepas sedikit demi sedikit. Setelah selesai, aku masih belum berani membuka kelopak mata. Akankah warna dunia masih seperti yang dulu? “Bukalah matamu, Nada!” Ujar dokter itu pelan. Perlahan-lahan kubuka kelopak mataku. Mula-mula tampak buram…remang-remang…namun semakin lama penglihatanku semakin jelas. Kukerjap-kerjapkan mata karena silau. Baba tertawa bahagia melihat mimikku. Kulihat wajahnya yang kini tampak lebih bercahaya…kulihat Omaima yang menangis terharu…dan di sebelah kiriku berdiri seorang laki-laki berkulit hitam, dokter itu. Aku tersenyum bahagia, kutemukan kembali kestabilan emosiku. Masih kuingat betapa geramnya aku dulu jika mengingat pemuda berkulit hitam yang kusangka penyebab semua ini, sampai-sampai aku membenci semua orang berkulit hitam. Hingga suatu hari Shahnaz mengingatkanku bahwa segala musibah datangnya dari Allah. “Omaima…dimana Shahnaz?” Tanyaku. Omaima memandang baba, meminta pendapat. Aku jadi semakin bertanya-tanya. “Sayang…!” Baba menarik napas. “Relakan sahabatmu itu. Dua hari yang lalu, Yang Kuasa telah memanggilnya kembali. Relakanlah kepergiannya…!” Ujar baba sambil memberiku sebuah potret. Seorang gadis buta berjilbab lebar berkulit hitam sedang tersenyum tulus. Ya…yang kulihat hanya hatinya yang putih…lebih putih dari kapas. Itulah yang pernah Shahnaz katakan padaku tentang hakikat hidup yang tak dapat dilihat oleh mata biasa. Baru sekarang aku mengerti. “Apakah…apakah penyebabnya…hingga secepat itu dia…”, ucapanku tersekat di tenggorokan karena tangis yang tak lagi tertahankan. Omaima memelukku, mencoba menenangkanku. “Sebetulnya sudah lama dia mengidap kanker, kanker darah kata orang-orang”, lanjutnya. Aku tak dapat lagi berkata apa-apa. Ternyata dia mengidap Leukimia. Tak kusangka kepergian sahabatkulah yang membasahi mata baruku untuk pertama kali. Terngiang di telingaku dialog-dialog kami tentang kehidupan…dialog-dialog kami tentang ajal...dan dialog-dialog tentang warna yang tak pernah dapat kujelaskan padanya. Sampai jumpa lagi, Sahabat…! Semoga kau temukan warna-warna yang selama ini ingin kau saksikan, lalu berilah makna tersendiri tentang itu. Dan aku, telah kutemukan warna baru dalam hidupku. Akan kugenggam erat bersama janji dan tekadku yang pernah kusampaikan padamu. Kutemukan warna hakiki itu…lalu kudekap erat…insya Allah! Abbas el Aqad, 9 Oktober 1999